Pengertian Autis
Autis
adalah merupakan gangguan terhadap perkembangan neurobiologis sangat kompleks/berat
dalam kehidupan yang panjang, meliputi gangguan pada aspekinteraksi sosial, komunikasi dan bahasa serta gaqngguan
emosi, persepsi sensori, bahkan pada
aspek motoriknya selain itu gejala autis dapat muncul pada usia sebelum 3 tahun.[1]
Makna Belajar
Pengertian
secara luas, belajar dapat diartikan sebagai kegiatan psiko-fisik menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya.
Kemudian dalam arti sempit, belajar dimaksudkan
sebagai usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian dari kegiatan menuju
terbentuknya kepribadian seutuhnya. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa belajar itu sebagai rangkaian
kegiatan jiwa raga, psiko-fisik untuk
menuju ke perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang berarti menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa, ranah
kognitif, afektif, dan psikomotor.
Secara
umum, belajar boleh dikatakan juga sebagai suatu proses interaksi antara diri manusia (id/ super ego/ ego) id
ialah lebih menekankan pemenuhan nafsu, super
ego ialah lebih bersifat sosial dan morah, sedangkan ego ialah akan menjembatani antara keduanya, terutama
kalau berkembang menghadapi lingkungannya,
atau dalam aktivitas belajar. Dalam hal ini terkandung suatu maksud bahwa proses interaksi itu adalah: (a)
proses internalisasi dari sesuatu kedalam diri yang
belajar. (b) dilakukan secara aktif, dengan segenap panca indera ikut berperan.[2]
Tujuan Belajar
Mengenai
tujuan-tujuan belajar itu sebenarnya sangat banyak dan bervariasi.tujuan-tujuan belajar yang eksplisit diusahakan untuk
dicapai dengan tindakan
instruksional, lazim dinamakan dengan instructional effects yang bisa berbentuk pengetahuan dan keterlampilan.
Ada tiga jenis tujuan belajar: (1) Untuk mendapatkan
pengetahuan ditandai dengan kemampuan berfikir. (2) Penanaman konsep dan keterlampilanyang bersifat jasmani
maupun rohani. (3) Pembentukan sikap
untu mengarahkan motivasi dan berfikir.[3]
Fokus kegiatan pada tahap pembelajaran
Guru mencari metode pengajaran
yang efektif dalam mengembangkan kemampuan literasi peserta didik. Untuk
mendukung hal ini, guru dapat melakukan penelitian tindakan kelas. Guru
mengembangkan rencana pembelajaran sendiri dengan memanfaat-kan berbagai media
dan bahan belajar.
Guru melaksanakan pembelajaran
dengan memaksimalkan pemanfaatan sarana dan prasarana literasi untuk
memfasilitasi pembelajaran. Guru menerapkan berbagai strategi membaca
(membacakan buku dengan nyaring, membaca terpandu, membaca bersama) untuk
meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap materi pembelajaran.[4]
Karakteristik
dan Kebutuhan Pembelajaran Autis
Karakteristik anak autis dapat diamati gejala-gejala yang nampak dalam
kesehariannya. Ciri-ciri yang nampak pada anak autis secara umum dapat dilihat
dari tiga hal pokok, yaitu:
Perilaku, Contoh yang tampak antara lain:
·
Cuek terhadap lingkungan
·
Kelekatan yang berlebihan terhadap benda
tertentu
·
Suka marah-marah yang tak terkendali
·
Suka terpukau pada benda yang bulat, bergerak,
dan berputar.
Interaksi Sosial, Contoh perilaku yang tampak adalah:
·
Menghindari tatapan mata
·
Tidak mau bermain dengan teman sebaya
·
Tidak menoleh/ tidak merespons saat dipanggil
namanya
·
Tidak ada rasa empati dengan lingkungan sosial
Komunikasi dan bahasa, Contoh gejala yang tampak adalah:
·
Terlambat bicara
·
Menceracau dengan bahasa yang tidak dipahami
·
Tidak memahami pembicaraan orang lain
Kebutuhan Pembelajaran Autis
Anak autis membutuhkan
pembelajaran yang bersifat kongkrit, logis, dan dapat di praktekkan secara
langsung agar dapat lebih mudah dimengerti/ dipahai. Jadi kebutuhan
pembelajaran pada anak autis yang paling utama adalah adanya media yang dapat
dilihat, dicontoh, ditirukan serta dipraktekkan agar dapat terhindar dari
verbalisme yaitu dapat mengucapkannya namun tidak dapat mengerti konsep yang
diucapkannya.[5]
Identifikasi
Autis
Identifikasi anak autis dapat
dilakukan dengan mengisi form cheklist
for autism in Toddlers (CHAT)
sebagai berikut:
Memberikan pertanyaan untuk orang tua seperti
1.Apakah anak anda senang di ayun-ayun, digoyang-goyang di atas lutut?
2. Apakah anak anda tertarik pada anak lain?
3. Apakah anak anda pernah menggunakan jarinya untuk menunjuk dengan tujuan meminta sesuatu?
Selanjutnya hasil check list dapat dianalisa sebagai dasar menentukan
identifikasi anak autis berada pada kategori yang tepat.[6]
Identifikasi dimaksudkan untuk
menunjukkan pemahaman awal bahwa di antara siswa ada yang memiliki kesulitan
dalam belajar yang disebabkanoleh kelainan atau kecacatan. Bagi siswa yang memiliki
masalah yang berat misalnya mengalami kelainan majemuk, maka sebaiknya
direferal (diserahkan) kepada pihak yang
berwenang (profesional) dalam menangani masalah ini (misalnya penanganan oleh
dokter ahli, psikiatri, dsb).[7]
Asesment
Autis
Asesment
autis dapat dilakukan oleh orang profesional yang ahli dibidangnya seperti oleh
psikiater untuk menentukan status diagnosanya, oleh psikolog anak untuk
menentukan level kecerdasan dan potensi yang dimiliki serta tak kalah penting
adalah guru/therapist/ orang tua yang sering berinteraksi setiap hari dengan
anak dapt memberikan informasi data yang lebih akurat kepada psikiater maupun
psikolog anak.
Asesment
dimaksudkan sebagai usaha untuk melakukan pengukuran tingkat kemampuan anak
guna mendapatkan gambaran atas kemampuan sebagai dasar melalui intervensi yang
tepat. Hasil dari asesment dapat dijadikan dasar-dasar acuan untuk membuat dan
menentukan program intervensi dini. Adapun asesment anak autis yang berkaitan
dengan potensidan kemampuannya meliiputi aspek sebagai berikut:
Kepatuhan
Aspek kepatuhan
dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran kemampuan anak dalm berinteraksi, merespons
perintah, konsentrasi, dan
kontak mata.
Kemampuan meniru gerakan
Pada dasarnya anak
berkembang karena adanya proses meniru dari lingkungan
sekitar. Tidak jarang ditemukan anak autis yang kesulitan atau belum memiliki
kemampuanuntuk meirukan. Kemampuan meniru ini
dapat diamati pada ada tidaknya minat/kemampuan anak dalam menirukan apa yang
dilihatnya.
Kemampuan
meniru gerakan meliputi:
Meniru gerakan dengan
menggunakan benda, Meniru gerakan motorik kasar,
Meniru gerakan motorik halus, Meniru gerakan orang bicara, Meniru mengucapkan suku
kata, Meniru aneka kegiatan bermain.[8]
Prinsip-prinsip
pembelajaran pendidikan agama islam pada anak autis
Mengajarkan
PAI kepada peserta didik adalah
merupakan kewajiban bagi guru, orang tua dan masyarakat sekitar. Ketiga
komponen diatas harus saling mendukung dan saling bekerja sama dalam upaya
mengajarkan pemahaman materi, mempraktekkan dalam perilaku dan menerapkannya
dalam kehidupan bermasyarakat.
Adapun
prinsip-prinsip pembelajaran pendidikanagama islam untuk anak autis meliputi:
Al Quran, Akidah, Akhlak, dan Fiqih. Anak autis harus diajarkan bagaimana
caranya memiliki ilmu untuk mempelajari keempat prinsip tersebut.
Prinsip
pembelajaran Al Quran meliputi bagaimana belajar menghafalkan surat-surat dalam
Al Quran surat pendek sampai sesuai kemampuannya, membaca iqro dan teknik
membaca Al Quran secara benar.
Prinsip
pembelajaran Aqidah meliputi bagaimana mempelajari ilmu tentang rukun islam dan
rukun iman.
Prinsip
pembelajaran akhlak meliputi bagaimana belajar mengaplikasikan ke dalam
perilaku sehari-hari dan mengaplikasikannya dalam berinteraksi sosial.
Prinsip
pembelajaran fikih meliputi bagaimana belajar ilmu tata cara bersuci dan menjaga kebersihan, kesehatan
badan.[9]
Terapi
Autis melalui Pendekatan Agama Islam
Banyak
ragam dan jenis terapi yang perlu diberikanbagi anak autis. Secara umum
meliputi terapi bidang medis melalui obat-obatan dengan pengawasan psikiatri
atau dokter spesialis anak, terapi wicara, terapi okupasi, terapi fisio, terapi
edukasi dan perilaku serta tidak kalah penting adalah terapi rukhyah dan terapi
dzikir.
Sistem
proses penerimaan respons visual anak autis pada input, proses dan output
adalah baik. Artinya apa yang dilihat akan diproses dan disimpulkan sebagai
konsep yang sama, sering pula disebut kemampuan visual anak autis sangat bagus.
Sistem
proses penerimaan respons auditory anak autis pada input baik, pada proses auditory ada hambatan pada “daya serap” nya, sedangkan daya
dengarnya baik (mendengar tetapi
tidak menyerap apa yang didengar) dan karena prosesnya ada hambatan maka out put auditorynya pun juga
ada hambatan. Akibatnya anak autis memiliki
konsep kosa kata yang berbeda antara visual da auditorynya. Anak autis akan lebih mengerti konsep komnikasi visual
dari pada auditory.[10]
Perkembangan
Koginitif
Yang
dimaksud dengan perkembangan kognitif adalah perkembangan anak dalam proses
pembentukan konsep dan pengertian. Dalam mengkaji perkembangan kognitif tokoh
yang paling terkenal adalah piaget. Pengaruh piaget terhadap pendidikan dan
psikologi sangat dalam, terlebih-lebih pada masa dua dekade terakhir. Karenanya
teori piaget tentang perkembangan kognitif anak berkelainan saat ini telah
menjadi konsep pendidikan yang tidak dapat diabaikan.
Piaget
menegaskan prinsip dasar dari perkembangan kognitif sesungguhnya serupa dengan
apa yang ada dalam perkembangan biologis. Adaptasi dan pengorganisasian
lingkungan merupakan proses yang tidak terpisahkan dan merupakan mekanisme
tunggal dari aspek internal yang melakukan adaptasi berdasarkan aspek
eksternal. Ada empat konsep perkembangan kognitif piaget,yaitu:
Skema
Skema ialah struktur-struktur
kognitif atau mental yang diperolehi oleh individu untuk menghadapi situasi
lingkungan. Skema tidak tunggal dan statis, tetapi banyak terus berubah seiring
dengan perkembangan intelektual dan bertambahnya pengalaman
Asimilasi
Asimilasi ialah proses kognitif
yang dilakukan oleh individu-individu dengan mengintegrasikan atau
mengorganisasikan pengalaman baru kedalam struktur kognitif atau skema yang
sudah ada. Proses ini berlangsung sepanjang masa.
Akomodasi
Ketika individu menghadapi atau
mendapatkan pengalaman baru, maka ia akan mencoba mengasimilasikan ke dalam
skema yang sudah ada.
Keseimbangan
Dalam
berinteraksi dengan lingkungan atau kehidupan sehari-hari individu senantiasa berupaya untuk mewujudkan keseimbangan,
yaitu keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi
melalui proses adaptasi.[11]
Hambatan
perkembangan kognitif pada anak autis
Anak
autis cenderung kesulitan dalam mengontrol masukan sensori dan konsekuensinya
dapat menunjukkan hiperresponsif atau sebaliknya yaitu hiperresponsif terhadap
stimuli. Mereka juga menunjukkan tidak acuh terhadap stimuli pendengaran maupun
penglihatan, namun dapat bertahan ketika bermain benda-benda yang dapat diputar
atau dibongkar pasang.
Hambatan
perkembangan anak autis juga dapat ditunjukkan dengan adanya pemilikan caranya
berpikir yang berbeda dibandingkan dengan anak pada umunya. Tidak dapat
mengikuti jalan pikiran orang lain, sulit memahami peristiwa yang terjadi di
lingkungannya, sukar mengekspresikan ide dan perasaan-perasaannya, serta dalam
memahami reaksi orang lain atas perbuatannya.[12]
Klasifikasi autis ditinjau dari
masa kemunculannya
Autis dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu: autis klasik adalah autis yang muncul atau dibawa sejak
lahir. Dan autis regresi adalah autis yang muncul sebeelum anak berusia 3 tahun
menunjukkan perkembangan sesuai dengan kemampuannya, tetapi sesudah itu
menunjukkan perkembangan yang menurun atau mengalami kemunduran yang drastis.
Klasifikasi autis ditinjau dari
kecerdasannya
IQ
anak autis sama seperti anak pada umumnya menyebar pada semua kategori. Jika
ditinjau dari kecerdasan intelegensinya, anak autis ada yang tergolong dalam
kelompok IQ rendah/dibawah rata-rata, IQ sedang/rata-rata dan IQ tinggi/diatas
rata-rata.
Klasifikasi autis ditinjau dari
perilaku
Jika
ditinjau dari perilaku yang muncul pada anak autis, dapat dibedakan sesuai
dengan jenis perilaku yang paling dominan, antara lain: Hyperaktif adalah
anak yang memiliki gerakan berlebihan
tanpa disadari. Hypoaktif adalah anak yang berkecenderungan tidak mau bergerak
dan banyak berdiam diri pada suatu tempat.
Agresif adalah anak yang berkecenderungan untuk menyerang, menyakiti
orang laintanpa ia sadari.
Self Injury adalah anak yang cenderung menyakiti siri sendiri, tidak
memiliki rasa sakit dan tidak mengerti bahaya.
Rigid Routines adalah anak yang cenderung mengikuti pola dan urutan
tertentu dan akan merasa tidak nyaman jika ada perubahan pola.
Self Stimulation/Stimulasi diri yang terdiri dari tiga jenis yaitu: Kecenderungan
untuk berperilaku berulang-ulang, Stimulasi diri menggunakan obyek, Ritual
obsession.[13]
Definisi Strategi Pembelajaran ABK
Strategi
pembelajaran berkenaan dengan bagaimana penyajian materi pelajaran agar dapat
meningkatkan hasil belajar. Suatu pembelajaran harus memenuhi kriteria: (1)
daya tarik, (2) daya guna (efektivitas), (3)hasil guna (efisiensi). Agar proses
pembelajaranefektif, maka perlu menggunakan strategi pembelajaran atau
penyampaian materi yang efektif pula. Strategi pembelajaran dalam hal ini
mencakup penggunaan metode mengajar dan media pengajaran yang dapat menunjang
keberhasilan siswa atau mencapai tujuan pendidikan yang telah direncanakan.
Strategi pembelajaran
dapat diartikan sebagai sistem pendekatan belajar-mengajar utama yang dipandang
paling efektif guna mencapai sasaran tersebut, sehingga dapat dijadikan
pegangan oleh para guru dalam merencanakan dan mengorganisasikan keiatan
belajar-mengajar atau pengalaman belajar (learning experience) siswa.[14]
Strategi Belajar Kolaboratif
Definis belajar kolaboratif
adalah suatu strategi pembelajaran di mana para siswa dengan variasi yang
bertingkat bekerja bersama dengan kelompok kecil (satuan tim) ke arah satu
tujuan. Para siswa saling membantu antara satu dengan yang lain saling
bergantung untuk kesuksesan.
Pengertian belajar
kolaboratif berbeda dengan belajar secara individu. Pada pembelajaran secara
individu (mandiri), siswa bekerja sendiri untuk menyelesaikan tujuan belajarnya
tanpa bantuan dari siswa lain. Sementara dalam situasi belajar kolaboratif ada
unsur ketergantungan yang positif untuk mencapai tujuan belajar.
Strategi belajar kolaboratif
merupakan streategi pembelajaran yang menerapkan paradigma baru dalam
teori-teori belajar khususnya pembelajaran konstruktivisme yang dipelopori oleh
piaget dan vigotsky. Teori kognitif berkaitan terjadinya pertukaran konsep
antara anggota dalam kelompok paada pembelajaran kolaboratif sehingga
transformasi ilmu pengetahuan akan terjadi pada setiap anggota dalam kelompok.
Teori motivasi
teraplikasi dalam struktur pembelajaran kolaboratif karena pembelajaaran
tersebut akan memberikan lingkungan yang kondusif bagi siswa untuk belajar,
menambah keberanian semua anggota untuk memberi pendapat, dan menciptakan
situasi saling memerlukan pada seluruh anggota dalam kelompok.[15]
Strategi Belajar Kooperatif
Dalam pendektan
kooperatif, kelompok serupa terbentuk, tetapi setiap siswa diberikan tujuan
belajar secara individualistik semuanya membuat laporan kelompok secara
tertulis. Setiap siswa juga diberikan tujuan kompetitif yaitu bagaimana
menampilkan perannya yang terbaik. Perbedaan mendasar anatar kondisi ini dan
kontraversi-kooperatif adalah bentuk yang ditampilkan murni kerjasama, dimana yang
kedua mencampurkan antara kooperatif fan kompetitif.[16]
Strategi belajar mandiri
[1] Halfian Lubis, 2015. Pendidikan Agama Islam Anak Berkebutuhan
Khusus Untuk SDLB. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam, hlm. 133
[2] Agus Marsidi, 2007. Profesi Keguruan Pendidikan Luar Biasa.
Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, hlm. 82-85
[3] Ibid, hlm. 87
[4] Dewi Utama Faizah, dkk,
2016. Panduan Gerakan Literasi Di Sekolah
Dasar. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar, hlm. 43
[5] Halfian Lubis. Op. Cit.,
hlm. 136
[6] Ibid, hlm. 138
[7] Loc. Cit, hlm. 44
[8] Ibid, hlm. 139
[9] Ibid, hlm. 142
[10] Ibid, hlm. 144
[11] Sunardi dan Sunaryo,
2007. Intervensi Dini Anak Berkebutuhan Khusus,
Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, hlm. 147-149
[12] Ibid, hlm. 161
[13] Halfian Lubis, Op. Cit.,
hlm. 134-135
[14] Parwoto, 2007. Strategi Pembelajaran Anak Berkebutuhan
Khusus. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, hlm. 95
[15] Ibid, hlm. 97-98
[16] Ibid, hlm. 107
Tidak ada komentar:
Posting Komentar